This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 28 Maret 2012

cerita lucu

After having failed his exam in “Logistics and Organization”, a student goes and confronts his lecturer about it.

Student: “Sir, do you really understand anything about the subject?”
Professor: “Surely I must. Otherwise I would not be a professor!”

Student: “Great, well then I would like to ask you a question. If you can give me the correct answer, I will accept my mark as is and go. If you however do not know the answer, I want you give me an “A” for the exam. ”
Professor: “Okay, it’s a deal. So what is the question?”

Student: “What is legal, but not logical, logical, but not legal, and neither logical, nor legal?” Even after some long and hard consideration, the professor cannot give the student an answer, and therefore changes his exam mark into an “A”, as agreed.

Afterwards, the professor calls on his best student and asks him the same question. He immediately answers: “Sir, you are 63 years old and married to a 35 year old woman, which is legal, but not logical. Your wife has a 25 year old lover, which is logical, but not legal. The fact that you have given your wife’s lover an “A”, although he really should have failed, is neither legal, nor logical.”

Rabu, 21 Maret 2012

doa seorang penjaga makam

DOA SEORANG PENJAGA MAKAM
Cerpen Sujud Kabisat

Barangkali, di Negeri ini tidaklah ada sebuah kota yang lebih sempurna dibanding jakarta. Kota yang menawarkan sejuta harapan dan mimpi bagi orang-orang yang datang dan pergi. Tanpa basa-basi. Tanpa permisi.
Seperti.....
Oh.....
Nani.....
Gelap.....
Gelap.....?
Gelap.....!
Gelap.....?!
Sebentar, sayang.
Sebentar-sebentar. Tolong dikasih tahu posisi saya berada di mana sekarang?! Kenapa semuanya diam?! Kenapa semuanya tidak mau menjawab?! Kenapa semuanya berubah jadi gelap?!
Tolong.....
Please.....
Apakah ada orang di sini.....?!
Apakah agama kalian.....?!
Kenapa kalian membeda-bedakan orang satu dengan orang yang lain.....?!
Kenapa kalian diam.....?!
Kenapa kalian tidak mau menjawab.....?!
Kenapa kalian berubah jadi gelap.....?!
..............
..............
..............
****

Brodin tidur tertelungkup di semak rerumputan. Di bawah iklan raksasa bergambarkan peta kota Jakarta. Tubuhnya kejang-kejang. Bibirnya gemetar. Lidahnya menjulur keluar. Dari celah giginya bagian depan, terdengar suara sangat berisik menyerupai desisan ular kobra yang siap memangsa siapa saja yang mendekatinya. Dengan ketakutan, Brodin berteriak minta tolong.
Ya, hanya minta tolong.
”Tolang-tolong.....! Tolang-tolong.....! Dasar orang gila.....! Gelandangan.....!” sergah seorang Bapak, dengan usia sekitar enam puluh tahun, mengenakan dasi, berpakaian ala parlente berjalan melewati di samping Brodin. Kemudian Bapak itu menendang botol Aqua bekas di depannya hingga melayang tepat mengenai sasaran di kepala brodin. ”Brakk.....!”
”Jancok! Siapa yang barusan memukul kepalaku?!” batin Brodin seraya memegangi kepalanya yang benjol. Brodin menengok di sekelilingnya tidak menjumpai siapa-siapa kecuali hanya sebuah iklan raksasa bergambarkan peta kota Jakarta yang sudah lapuk di makan usia dan siap menimpanya kapan saja.
Dengan tubuh sempoyongan, Brodin mencoba berdiri. Melangkahkan kaki. Brodin mulai menyusuri kota Jakarta yang super kumuh, macet, bising, dan sama sekali tidak mencerminkan kesan ramah seperti halnya kota kecil di tempat kelahirannya, Madura.

Sebenarnya, tujuan Brodin merantau ke Jakarta bukanlah tanpa sebab. Brodin memendam cita-cita mulia ingin merubah nasib keluarganya. Dan Jakarta, adalah kota pertama yang ingin ditaklukannya. Kata banyak orang, di Jakarta kita bisa ketemu artis dan pejabat. Tidak hanya itu saja. Di Jakarta, kita bisa melihat gedung-gedung menjulang tinggi mencakar langit. Mono rel. Busway. Kereta listrik. Dan di Jakarta, kita bisa mencari uang dengan mudah. Baik dengan cara halal maupun haram. Semua aktifitas bergerak dan tidak bergerak tersaji 24 jam. Non stop.
”Stop.....! Jangan bergerak.....!” Tiba-tiba datang seorang aparat mengenakan seragam menyeramkan menodongkan senapan ke arah Brodin.
”Saya bilang jangan bergerak. Jika bergerak, saya tembak.....!” Aparat itu mendekati Brodin sambil memborgol kedua tangannya.
”Waduh, bapak ini na gimana. Masak orang hidup disuruh tidak rak bergerak. Jika orang hidup tidak rak bergerak, namanya bukan orang dup hidup. Tapi orang ti mati tak iye,” bantah Brodin kepada Aparat itu dengan logat Madura yang terkesan polos.
”Sudah jangan banyak bicara. Saudara saya tangkap.....!” Aparat itu menyeret Brodin. Sesaat kemudian, sebuah sepatu PDH bersarang ke wajah Brodin, ”Brakk....!”
Brodin tersungkur ke aspal. Kepalanya benjol. Matanya lebam. Bibirnya berubah monyong mengelurkan darah. Sesaat kemudian, pandangan Brodin berkunang-kunang. Semuanya berubah jadi gelap.
Gelap.....
Gelap.....?
Gelap.....!
Gelap.....?!
..............
..............
..............
****

”Saudara tahu, apa kesalahan saudara?!”

Di kantor polisi, seorang Aparat dengan wajah sadis, berkumis tebal, dengan perut sangat gendhut menginterogasi Brodin sembari menggeledah tas, dompet, dan seluruh pakaian hingga Brodin telanjang dada hanya mengenakan celana dalam.
”Lah, bapak ini na gimana. Saya ke jakarta cari ja kerja. Saya tidak lah bersalah tak iye,” jawab Brodin, masih menggunakan logat Madura yang kental dan polos.
”Saudara tidak punya KTP.....!”
”Ooo pe ke te pe. Bapak ini na gimana. Semua orang pasti tahu kalau saya berasal dari ra Madura tak iye.” Brodin membantah pertanyaan Aparat itu dengan sangat dingin. Sedikitpun tidak memperlihatkan ekspresi rasa bersalah.
”Saudara tahu gepeng.....!” Aparat itu terlihat kesal memelototi wajah Brodin. ”Saudara tahu gepeng, nggak.....!”
”Ha.... ha.... ha.... ha....” Brodin tertawa terpingkal-pingkal di depan Aparat itu. ”Bapak ini na gimana. Saya jelas tahu sama almarhum peng gepeng. Almarhum peng gepeng itu kan pelawak fovorit ga keluarga saya tak iye.”
”Bukan gepeng itu yang saya maksud…..!” Aparat itu semakin kesal menjambak rambut Brodin. ”Gepeng itu singkatan dari gelandangan dan pengemis.”
”Waduh, bapak ini na gimana. Kan tadi saya sudah lang bilang. Kalau saya ke Jakarta ini cari ja kerja. Saya bukan dang gelandangan. Bukan juga mis pengemis tak iye.”
”Brengsek.....! Saudara itu sudah bersalah tidak punya KTP masih jawab tak iya-tak iye....! Tak iya-tak iye....! Saudara bisa berbahasa Indonesia dengan baik nggak sih....!”
”Bapak ini na gimana. Kan tadi saya sudah jawab soal pe ka te pe. Semua orang pasti tahu kalau saya berasal dari ra Madura. Semua orang pasti tahu kalau Madura itu bagian dari Negara sa Indonesia. Dan sekarang ini saya sedang pakai bahasa sa Indonesia tak iye.”
”Sudah saudara keluar sana.....! Bikin pusing.....! Dasar gelandangan bego.....! Gembhel.....!” Aparat itu sudah kehilangan kesabaran menyeret Brodin keluar kantor sambil melemparkan tas, dompet, dan pakaian ke wajah Brodin.
”Lah, bapak ini na gimana. Bapak yang go bego. Bapak yang sek brengsek. Saya ke Jakarta cari ja kerja. Saya bukan dang gelandangan. Bukan juga bel gembhel. Apalagi mis pengemis tak iye.” Brodin balik menggerutu dan marah-marah di depan Aparat itu sambil mengenakan pakaian.
“Dari tadi sedikit-sedikit bapak bilangnya ra saudara. Sedikit-sedikit bapak bilangnya ra saudara. Kalau kelakuannya sar kasar seperti ini, ras keras seperti ini, namanya bukan ra saudara. Tapi suh musuh tak iye.”
Brodin meninggalkan kantor polisi dengan tubuh sempoyongan. Entah sudah berapa hari Brodin belum makan. Tubuhnya terlihat kurus. Tak terurus. Rambutnya acak-acakan. Wajahnya terbakar panas matahari sampai hitam. Lebam. Brodin mulai berjalan kembali menyusuri kota Jakarta yang super kumuh, macet, dan bising. Kota yang menawarkan sejuta harapan dan mimpi bagi orang-orang yang datang dan pergi. Tanpa basa-basi. Tanpa permisi.
****

Permisi.....
Hallo.....
Kulo nuwun.....
Punten......
Excuse me.....
Sampurasun.....
Assalamualaikum.....
..............................
..............................
Berulang kali, Brodin mengucapkan kalimat itu di setiap waktu. Di setiap penjuru. Hampir setiap jalanan di Jakarta, sudah disisirnya. Dengan luka. Dengan mata berkaca-kaca, Brodin terus berjalan. Dengan tubuh remuk redam. Tanpa arah dan tujuan. Tanpa harapan. Tanpa jawaban.
Adakah yang mendengar jeritannya.....?!
Adakah yang menitah langkahnya.....?!
Adakah yang menyeka air matanya.....?!
Ada.....
Ada.....?
Ada.....!
Ada.....?!
Ada. Di sebuah tempat. Berkumpulnya sanak kerabat. Mencurahkan air mata. Menaburkan wangi bunga. Melantunkan ayat-ayat dan doa.
Di sini.....
Di sini.....?
Di sini.....!
Di sini.....?!
Di sini. Matahari terbagi menjadi dua sisi. Kanan dan kiri. Rembulan terbelah menjadi dua arah. Atas dan bawah. Siang dan malam sama saja. Tidak ada bedanya.
Gelap.....
Gelap.....?
Gelap.....!
Gelap.....?!
Gelap. Tidak ada bujur utara, selatan, timur, dan barat. Semuanya menghadap kiblat. Dengan khidmat.

Dengan khidmat. Brodin duduk di salah satu makam. Bersandarkan batu nisan. Beraromakan wangi kembang. Bau kemenyan. Dan sebungkus rokok sesajian.
”Almarhum Nani Binti Mani.”
”Lahir : Jumat Wage. 17 Agustus 1945.”
”Wafat : Minggu Legi. 19 Agustus 1945.”

Brodin membaca salah satu nisan di depannya. Matanya kembali berkaca-kaca. Dengan langkah goyah, Brodin coba melangkah. Duduk di depan nisan itu dengan penuh haru. Termangu. Brodin mengeja setiap kata demi kata. Dengan suara terbata-bata.
”Nani.....”
”Na.....”
”Ni.....”
”N.....”
”A.....”
”N.....”
”I.....”
”Oh….. Nani. Maafkan kesalahan Bapak jika sampai sekarang belum bisa membahagiakan anak Bapak yang tersayang. Maafkan Bapak, Nak.”

Membaca tulisan di batu nisan itu, Brodin menangis tersedu teringat Nani, anaknya. Anak semata wayang Brodin yang masih berumur 3 tahun dan terpaksa harus ditinggalkannya merantau ke Jakarta untuk sebuah cita-cita mulia. Brodin mendekap batu nisan itu seperti halnya Brodin mendekap anaknya sendiri.

Seandainya saja sekarang ini Nani berada di pangkuannya, pasti Brodin akan memeluk anak semata wayang lucu itu dengan penuh kasih sayang. Brodin akan menimang-nimang Nani dengan alunan tembang. Brodin teringat ketika pertama kali melangkahkan kaki dari rumahnya untuk pergi ke Jakarta, Nani menatap Brodin dengan sorotan mata iba seolah-olah Nani tidak rela melihat kepergian Bapaknya. Tapi Brodin terus memaksa melangkah dengan hati goyah. Dan terahir kali, Brodin masih sempat melihat dari kejauhan, bibir mungil anak kecil itu berteriak dengan suara serak, ”Baaappp..... pak.....”

Brodin kembali membaca batu nisan itu. Seolah-olah tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. Apa yang sedang dialaminya.
”Almarhum Nani Binti Mani.”
”Lahir : Jumat Wage. 17 Agustus 1945.”
”Wafat : Minggu Legi. 19 Agustus 1945.”

Mata Brodin menerawang sambil menghitung jari-jemarinya. Brodin menghitung hari kelahiran dan kematian Nani seperti yang tertulis pada batu nisan di depannya. Walau nama anak yang tertulis di batu nisan itu namanya sama dengan Nani, anaknya. Tapi Brodin cukup bersukur karena sampai sekarang anaknya masih hidup dan sudah berumur 3 tahun lebih. Sedangkan Nani yang tertulis di batu nisan itu hanya berumur 3 hari.

Sejak bertemu dengan Nani, Brodin merasa banyak hikmah dan pengalaman yang ia petik. Hingga ahirnya, Brodin memutuskan untuk tinggal bersama Nani. Di sebuah tempat. Berkumpulnya sanak kerabat. Mencurahkan air mata. Menaburkan wangi bunga. Melantunkan ayat-ayat dan doa.
Di sini, Brodin mulai menjalani perkerjaan barunya.
Sebagai penjaga makam.
Di kuburan.....
Di kuburan.....?
Di kuburan.....!
Di kuburan.....?!
Di kuburan, yang luasnya menghampar tiga hektar, Brodin melewati hari-harinya dengan suka cita. Tanpa ada perasaan putus asa. Penduduk di kuburan sini semua sangat ramah. Seramah orang-orang yang tinggal di kota kelahirnnya, Madura. Sebuah kota kecil yang dikenal Bangsa ini dengan mayoritas penduduk hanya berprofesi sebagai penjual sate ayam dan tukang cukur rambut. Tapi Brodin percaya, suatu saat ia akan pulang ke Madura dan seluruh penduduk akan berkoar-koar dan menyambutnya bak pendekar. Bisa jadi, Brodin akan berdiri di atas mimbar bercerita tentang pengalamannya berjuang keras menaklukkan Jakarta hingga ahirnya ia bisa keluar dan menjadikannya seorang avatar.
”Hidup Brodin......”
”Hidup Brodin Sang Pendekar.....”
”Hidup Brodin Sang Avatar.....”
”Hidup Presiden baru kita..... Brodin Al Amru.....”
Brodin terbangun dari lamunan, ketika seekor lalat hinggap di mulutnya. Seekor lalat itu sepertinya juga ingin merasakan kenikmatan sebungkus nasi yang Brodin makan. Sebungkus nasi dengan lauk pauk tahu dan telor dadar itu Brodin dapatkan ketika tadi siang ia membantu menggali kuburan karena ada orang yang meninggal. Selain mendapatkan nasi, Brodin juga diberi upah uang sebesar lima puluh ribu. Lumayan, bisa ditabung untuk kebutuhan keluarga jika Brodin pulang ke Madura. Brodin menyimpan uang itu di dalam gundukan makam. Di bawah batu nisan bertuliskan.
”Almarhum Nani Binti Mani.”
”Lahir : Jumat Wage. 17 Agustus 1945.”
”Wafat : Minggu Legi. 19 Agustus 1945.”
****

Dua tahun selang, tanpa diduga Brodin menjadi orang paling terkenal di antara semua penduduk yang tinggal di sekitar kuburan. Jika ada orang yang bertanya penjaga makam, pasti jawaban orang itu tidak lain adalah Brodin. Hanya Brodin. Mungkin sudah sepantasnya jika Brodin menyandang gelar itu. Bukan lantaran jasanya selama dua tahun mengabdi di pemakaman itu dengan setia. Tapi Brodin mengenal semua nama-nama mayat di pemakaman itu di luar kepala. Begitu juga dengan denah dan peta lokasinya.

Dan hari ini, entah kenapa Brodin sangat sedih. Brodin merasa salah dan berdosa kepada sebagian mayat yang sekarang ini sedang tidur pulas di sekelilingnya. Ketika baru pertama kali menginjakkan kaki di pemakaman, Brodin selalu berdoa agar ada orang yang mati setiap hari. Dengan begitu, Brodin akan mendapatkan sebungkus nasi. Untuk menyambung hidupnya. Untuk mewujudkan cita-cita mulia agar bisa merubah nasib ekonomi keluarganya.

Tiba-tiba Brodin menangis. Entah sudah berapa kali selama dua tahun ini ia menangis. Mungkin terlalu sering bagi Brodin mengeluarkan air mata. Air mata yang hanya bisa keluar dari orang-orang yang sudah biasa hidup terluka. Oleh orang-orang tegar dan selalu ditindas batinnya.

Brodin duduk termenung di atas batu nisan. Sesekali matanya menerawang tajam mengamati pergerakan matahari dan awan yang bergeser perlahan-lahan memperlihatkan perpindahan waktu dari sore ke malam. Di hari terahir selama menjalani puasa ramadan, pasti hari ini adalah hari yang paling menyiksa hati dan pikiran Brodin. Ketika sebentar lagi gema takbir dikumandangkan, Brodin hanya bisa merayakannya sendiri. Brodin tidak bisa merayakan kemenangan dan berkumpul bersama istri dan anak semata wayangnya, Nani.
Nani.....
Nani.....?
Nani.....!
Nani.....?!

Ya, Nani. Dengan perasaan bimbang, Brodin mengambil uang yang ia simpan di bawah gundukan makam. Di bawah batu nisan bertuliskan
”Almarhum Nani Binti Mani.”
”Lahir : Jumat Wage. 17 Agustus 1945.”
”Wafat : Minggu Legi. 19 Agustus 1945.”

Brodin mencium batu nisan Nani untuk yang terahir kali. Brodin melangkahkan kaki dari pemakaman yang luasnya menghampar tiga hektar itu perlahan-lahan, sama halnya seperti ketika pertama kali Brodin melangkahkan kaki dari rumahnya untuk pergi ke Jakarta, Nani menatap Brodin dengan sorotan mata iba seolah-olah Nani tidak rela melihat kepergian Bapaknya. Tapi Brodin terus memaksa melangkah dengan hati goyah.

Sesampainya di depan pintu, Brodin berdiri dengan perasaan penuh haru. Termangu. Brodin menatap sebuah papan raksasa yang Brodin beli seharga 20 juta dari hasil menabung ketika Brodin menjadi seorang penjaga makam selama dua tahun. Papan raksasa itu bukan bergambarkan peta kota Jakarta yang sudah lapuk di makan usia dan siap menimpanya kapan saja. Tapi papan raksasa itu bertuliskan daftar nama semua mayat yang berada di pemakaman yang luasnya menghampar tiga hektar. Begitu juga lengkap dengan peta dan denah lokasinya.

Brodin tidak lagi berdoa agar ada orang yang mati setiap hari, untuk mendapatkan sebungkus nasi. Tapi Brodin berharap suatu saat, dengan papan raksasa bertuliskan daftar nama semua mayat yang berada di pemakaman yang luasnya menghampar tiga hektar, begitu juga lengkap dengan peta dan denah lokasinya itu, semua orang tidak akan susah-susah untuk mencari dan bersilaturrahmi dengan sanak keluarganya yang sudah mati. Agar semua orang selalu mengingat dan menghargai orang-orang yang sudah mati. Seperti Nani.

Brodin membuang semua kisah ketika pulang ke rumah, seluruh penduduk Madura akan berkoar-koar dan menyambut Brodin bak pendekar. Atau dongeng Brodin berdiri di atas mimbar ketika bercerita tentang pengalamannya berjuang keras menaklukkan Jakarta hingga ahirnya Brodin bisa keluar dan menjadikannya seorang avatar.

Brodin kembali pulang ke Madura tidak membawa apa-apa. Hanya gema takbiran yang terus berkumandang. Gema takbiran yang terus berkumandang mengiringi langkah Brodin di setiap perjalanan menuju pulang. Gema takbiran yang terus berkumandang di hari kemenangan.
Gema takbiran yang terus mengumandangkan.....
Allahu Akbar.....
Allahu Akbar.....
Allahu Akbar.....
La Ilaaha illallahu Allahu Akbar.....
Allahu Akbar Walillahil Hamd.....

cerpen islami

Di stasiun kereta api bawah tanah Tokyo, aku merapatkan mantel wol tebalku erat-erat. Pukul 5 pagi. Musim dingin yang hebat. Udara terasa beku mengigit. Januari ini memang terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Di luar salju masih turun dengan lebat sejak kemarin. Tokyo tahun ini terselimuti salju tebal, memutihkan segenap pemandangan.

Stasiun yang selalu ramai ini agak sepi karena hari masih pagi. Ada seorang kakek tua di ujung kursi, melenggut menahan kantuk. Aku melangkah perlahan ke arah mesin minuman. Sesaat setelah sekeping uang logam aku masukkan, sekaleng capucino hangat berpindah ke tanganku. Kopi itu sejenak menghangatkan tubuhku, tapi tak lama karena ketika tanganku menyentuh kartu pos di saku mantel, kembali aku berdebar.

Tiga hari yang lalu kartu pos ini tiba di apartemenku. Tidak banyak beritanya, hanya sebuah pesan singkat yang dikirim adikku, "Ibu sakit keras dan ingin sekali bertemu kakak. Kalau kakak tidak ingin menyesal, pulanglah meski sebentar, kak�c". Aku mengeluh perlahan membuang sesal yang bertumpuk di dada. Kartu pos ini dikirim Asih setelah beberapa kali ia menelponku tapi aku tak begitu menggubris ceritanya. Mungkin ia bosan, hingga akhirnya hanya kartu ini yang dikirimnya. Ah, waktu seperti bergerak lamban, aku ingin segera tiba di rumah, tiba-tiba rinduku pada ibu tak tertahan. Tuhan, beri aku waktu, aku tak ingin menyesal�c

Sebenarnya aku sendiri masih tak punya waktu untuk pulang. Kesibukanku bekerja di sebuah perusahaan swasta di kawasan Yokohama, ditambah lagi mengurus dua puteri remajaku, membuat aku seperti tenggelam dalam kesibukan di negeri sakura ini. Inipun aku pulang setelah kemarin menyelesaikan sedikit urusan pekerjaan di Tokyo. Lagi-lagi urusan pekerjaan.

Sudah hampir dua puluh tahun aku menetap di Jepang. Tepatnya sejak aku menikah dengan Emura, pria Jepang yang aku kenal di Yogyakarta, kota kelahiranku. Pada saat itu Emura sendiri memang sedang di Yogya dalam rangka urusan kerjanya. Setahun setelah perkenalan itu, kami menikah.

Masih tergambar jelas dalam ingatanku wajah ibu yang menjadi murung ketika aku mengungkapkan rencana pernikahan itu. Ibu meragukan kebahagiaanku kelak menikah dengan pria asing ini. Karena tentu saja begitu banyak perbedaan budaya yang ada diantara kami, dan tentu saja ibu sedih karena aku harus berpisah dengan keluarga untuk mengikuti Emura. Saat itu aku berkeras dan tak terlalu menggubris kekhawatiran ibu.

Pada akhirnya memang benar kata ibu, tidak mudah menjadi istri orang asing. Di awal pernikahan begitu banyak pengorbanan yang harus aku keluarkan dalam rangka adaptasi, demi keutuhan rumah tangga. Hampir saja biduk rumah tangga tak bisa kami pertahankan. Ketika semua hampir karam, Ibu banyak membantu kami dengan nasehat-nasehatnya. Akhirnya kami memang bisa sejalan. Emura juga pada dasarnya baik dan penyayang, tidak banyak tuntutan.

Namun ada satu kecemasan ibu yang tak terelakkan, perpisahan. Sejak menikah aku mengikuti Emura ke negaranya. Aku sendiri memang sangat kesepian diawal masa jauh dari keluarga, terutama ibu, tapi kesibukan mengurus rumah tangga mengalihkan perasaanku. Ketika anak-anak beranjak remaja, aku juga mulai bekerja untuk membunuh waktu.

Aku tersentak ketika mendengar pemberitahuan kereta Narita Expres yang aku tunggu akan segera tiba. Waktu seperti terus memburu, sementara dingin semakin membuatku menggigil. Sesaat setelah melompat ke dalam kereta aku bernafas lega. Udara hangat dalam kereta mencairkan sedikit kedinginanku. Tidak semua kursi terisi di kereta ini dan hampir semua penumpang terlihat tidur. Setelah menemukan nomor kursi dan melonggarkan ikatan syal tebal yang melilit di leher, aku merebahkan tubuh yang penat dan berharap bisa tidur sejenak seperti mereka. Tapi ternyata tidak, kenangan masa lalu yang terputus tadi mendadak kembali berputar dalam ingatanku.

Ibu..ya betapa kusadari kini sudah hampir empat tahun aku tak bertemu dengannya. Di tengah kesibukan, waktu terasa cepat sekali berputar. Terakhir ketika aku pulang menemani puteriku, Rikako dan Yuka, liburan musim panas. Hanya dua minggu di sana, itupun aku masih disibukkan dengan urusan kantor yang cabangnya ada di Jakarta. Selama ini aku pikir ibu cukup bahagia dengan uang kiriman ku yang teratur setiap bulan. Selama ini aku pikir materi cukup untuk menggantikan semuanya. Mendadak mataku terasa panas, ada perih yang menyesakkan dadaku. "Aku pulang bu, maafkan keteledoranku selama ini�c" bisikku perlahan.

Cahaya matahari pagi meremang. Kereta api yang melesat cepat seperti peluru ini masih terasa lamban untukku. Betapa masih jauh jarak yang terentang. Aku menatap ke luar. Salju yang masih saja turun menghalangi pandanganku. Tumpukan salju memutihkan segenap penjuru. Tiba-tiba aku teringat Yuka puteri sulungku yang duduk di bangku SMA kelas dua. Bisa dikatakan ia tak berbeda dengan remaja lainnya di Jepang ini. Meski tak terjerumus sepenuhnya pada kehidupan bebas remaja kota besar, tapi Yuka sangat ekspresif dan semaunya. Tak jarang kami berbeda pendapat tentang banyak hal, tentang norma-norma pergaulan atau bagaimana sopan santun terhadap orang tua.

Aku sering protes kalau Yuka pergi lama dengan teman-temannya tanpa idzin padaku atau papanya. Karena aku dibuat menderita dan gelisah tak karuan dibuatnya. Terus terang kehidupan remaja Jepang yang kian bebas membuatku khawatir sekali. Tapi menurut Yuka hal itu biasa, pamit atau selalu lapor padaku dimana dia berada, menurutnya membuat ia stres saja. Ia ingin aku mempercayainya dan memberikan kebebasan padanya. Menurutnya ia akan menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Untuk menghindari pertengkaran semakin hebat, aku mengalah meski akhirnya sering memendam gelisah.

Riko juga begitu, sering ia tak menggubris nasehatku, asyik dengan urusan sekolah dan teman-temannya. Papanya tak banyak komentar. Dia sempat bilang mungkin itu karena kesalahanku juga yang kurang menyediakan waktu buat mereka karena kesibukan bekerja. Mereka jadi seperti tidak membutuhkan mamanya. Tapi aku berdalih justru aku bekerja karena sepi di rumah akibat anak-anak yang berangkat dewasa dan jarang di rumah. Dulupun aku bekerja ketika si bungsu Riko telah menamatkan SD nya. Namun memang dalam hati ku akui, aku kurang bisa membagi waktu antara kerja dan keluarga.

Melihat anak-anak yang cenderung semaunya, aku frustasi juga, tapi akhirnya aku alihkan dengan semakin menenggelamkan diri dalam kesibukan kerja. Aku jadi teringat masa remajaku. Betapa ku ingat kini, diantara ke lima anak ibu, hanya aku yang paling sering tidak mengikuti anjurannya. Aku menyesal. Sekarang aku bisa merasakan bagaimana perasaan ibu ketika aku mengabaikan kata-katanya, tentu sama dengan sedih yang aku rasakan ketika Yuka jatau Riko juga sering mengabaikanku. Sekarang aku menyadari dan menyesali semuanya. Tentu sikap kedua puteri ku adalah peringatan yang Allah berikan atas keteledoranku dimasa lalu. Aku ingin mencium tangan ibu....

Di luar salju semakin tebal, semakin aku tak bisa melihat pemandangan, semua menjadi kabur tersaput butiran salju yang putih. Juga semakin kabur oleh rinai air mataku. Tergambar lagi dalam benakku, saat setiap sore ibu mengingatkan kami kalau tidak pergi mengaji ke surau. Ibu sendiri sangat taat beribadah. Melihat ibu khusu' tahajud di tengah malam atau berkali-kali mengkhatamkan alqur'an adalah pemandangan biasa buatku. Ah..teringat ibu semakin tak tahan aku menanggung rindu. Entah sudah berapa kali kutengok arloji dipergelangan tangan.

Akhirnya setelah menyelesaikan semua urusan boarding-pass di bandara Narita, aku harus bersabar lagi di pesawat. Tujuh jam perjalanan bukan waktu yang sebentar buat yang sedang memburu waktu seperti aku. Senyum ibu seperti terus mengikutiku. Syukurlah, Window-seat, no smoking area, membuat aku sedikit bernafas lega, paling tidak untuk menutupi kegelisahanku pada penumpang lain dan untuk berdzikir menghapus sesak yang memenuhi dada. Melayang-layang di atas samudera fasifik sambil berdzikir memohon ampunan-Nya membuat aku sedikit tenang. Gumpalan awan putih di luar seperti gumpalan-gumpalan rindu pada ibu.

Yogya belum banyak berubah. Semuanya masih seperti dulu ketika terakhir aku meninggalkannya. Kembali ke Yogya seperti kembali ke masa lalu. Kota ini memendam semua kenanganku. Melewati jalan-jalan yang dulu selalu aku lalui, seperti menarikku ke masa-masa silam itu. Kota ini telah membesarkanku, maka tak terbilang banyaknya kenangan didalamnya. Terutama kenangan-kenangan manis bersama ibu yang selalu mewarnai semua hari-hariku. Teringat itu, semakin tak sabar aku untuk bertemu ibu.

Rumah berhalaman besar itu seperti tidak lapuk dimakan waktu, rasanya masih seperti ketika aku kecil dan berlari-lari diantara tanaman-tanaman itu, tentu karena selama ini ibu rajin merawatnya. Namun ada satu yang berubah, ibu...

Wajah ibu masih teduh dan bijak seperti dulu, meski usia telah senja tapi ibu tidak terlihat tua, hanya saja ibu terbaring lemah tidak berdaya, tidak sesegar biasanya. Aku berlutut disisi pembaringannya, "Ibu...Rini datang, bu..", gemetar bibirku memanggilnya. Ku raih tangan ibu perlahan dan mendekapnya didadaku. Ketika kucium tangannya, butiran air mataku membasahinya. Perlahan mata ibu terbuka dan senyum ibu, senyum yang aku rindu itu, mengukir di wajahnya. Setelah itu entah berapa lama kami berpelukan melepas rindu. Ibu mengusap rambutku, pipinya basah oleh air mata. Dari matanya aku tahu ibu juga menyimpan derita yang sama, rindu pada anaknya yang telah sekian lama tidak berjumpa. "Maafkan Rini, Bu.." ucapku berkali-kali, betapa kini aku menyadari semua kekeliruanku selama ini.

***

cerpen lucu

Cerpen lucu
Cerpen lucu, Jika hati anda lagi sedih atau lagi merasa bt (bukan bau tai) maka ada baiknya anda baca kumpulan cerpen lucu ini. kumpulan cerpen lucu ini saya kutip dari koran bekas bungkus tempe yang saya temukan dua hari yang lalu. Berikut saya tuliskan cerpen lucu tersebut untuk menghibur anda
big grin

# Cerpen Lucu 1

Pamer Merek Parfum mewah
Seorang wanita tua naik lift di Gedung Kantor yang sangat mewah. Seorang wanita muda dan cantik masuk ke dalam lift dan berbau wangi lalu menoleh kepada wanita tua dan berkata angkuh, "Giorgio - Beverly Hills, $100 per ounce"
Wanita muda dan cantik berikutnya naik di lift dan juga sangat arogan menatap menjadi wanita tua itu dan berkata, "Chanel No 5, $150 per ounce!"
Sekitar tiga lantai kemudian, wanita tua itu telah mencapai tujuannya dan akan turun lift. Sebelum dia pergi, dia melihat kedua wanita cantik itu, tersenyum, lalu membungkuk, dan mengeluarkan sebuah kentut yang berbau paling busuk.
Dia meninggalkan kedua wanita itu di dalam lift, sambil mengatakan "Brokoli, 50sen sekilo!"
rolling on the floor
# Cerpen Lucu 2
Karena Haram tidak ikut disembelih
Menjelang Idul Adha, semua kambing, sapi dan kerbau terlihat murung dan sedih.
Babi ketawa sambil berkata kepada bebek,"Bek, untung aku haram, jadi kagak dipotong."
Bebek senyum-senyum saja dan berbisik ke hewan lainnya,
"Dia belum sadar kalau sebentar lagi Natal..."
laughing
# Cerpen Lucu 3
Mengapa surga ada di telapak kaki ibu
Seorang anak bertanya kepada Ibunya,
"Bu, kenapa surga ada dibawah telapak kaki Ibu?"
Ibunya menjawab,
"Kalau diantara kedua paha Ibu, itu surganya Bapakmu nak..."
rolling on the floor
# Cerpen Lucu 4
Sekali Kerja Semua Beres
Suatu hari si Udin ditegor majikannya.
Majikan : "Udin, kamu kalo kerja kok nggak pernah beres sekaligus, sih. Saya cuma nyuruh kamu beli 5 butir telur aja kamu sampe bolak-balik ke warung 5 kali. Lain kali jangan begitu ya ?"
Udin : "Iya, tuan" sambil manggut-manggut tanda nurut.
Beberapa hari kemudian sang majikan sakit, terus nyuruh Udin manggil tabib (maklum dokter mahal). Tapi sang majikan jadi kaget, karena waktu kembali nggak cuma tabib yang dipanggil Udin, tapi beberapa orang lain. Sang majikan nanya:
Majikan : "Udin, kamu ini apa-apaan sih, kan saya cuma nyuruh kamu manggil tabib, kenapa ada banyak orang lain di sini?"
Udin : "Lho, kan tuan nyuruh saya kerja musti beres sekaligus ?"
Majikan : "Iya, tapi apa hubungannya sama orang-orang ini?"
Udin : "Tuan kan nyuruh saya manggil tabib, nah, tabib kan biasanya setelah memeriksa, nulis resep obat, makanya saya panggil juga TUKANG OBAT, terus tukang obat kalo mau bikin obat kan perlu bahan-bahannya, makanya saya panggil juga TUKANG JUALAN BAHAN-BAHAN OBAT, terus bahan-bahan obat itu kan perlu dimasak dulu, saya panggil juga TUKANG KAYU BAKAR, kalo obatnya udah jadi, terus kan tuan minum itu obatnya, iya kalo tuan sembuh, kalo tuan malah mati gimana, makanya saya panggil juga TUKANG GALI KUBURAN."
rolling on the floor
# Cerpen Lucu 5
Seharusnya sudah turun
Si Salim naik busway dan duduk disebelah ibu muda cantik dan sexy. Kebetulan ibu muda itu baru mulai hendak menyusui bayinya. Tapi ketika si ibu muda hendak menyusui, si bayi menolaknya..
Si ibu muda berkata ” ayo sayang diminum, entar mama kasih sama om yg disebelah loh”…
Sepuluh menit kemudian bayi masih saja tidak mau minum asi.
Si ibu muda membujuk lagi “ayo dong sayang diminum susunya… nanti mama kasih om yg disebelah beneran loh…”
Tiba2 si Salim bicara kepada si ibu muda ” Dengar ya mbak..tolong mbak cepat ambil keputusan.. Saya mestinya sudah turun di 4 halte sebelumnya..”
big grin
# Cerpen Lucu 6
Penyakit menular
Seorang wanita yang cantik dan seksi pergi ke Dokter untuk mengkonsultasikan penyakitnya.
Pasien : "Dok, payudaraku kok terasa keras sekali dan sakit ya?"
Kemudian si Dokter mulai memeriksa dengan memegang payudara wanita tersebut untuk beberapa saat, dan si pasien kembali bertanya
Pasien : "Jadi bagaimana dok?"
Dokter : "Ini sepertinya penyakit menular. Sekarang ada bagian tubuh saya yang keras dan sakit.”
rolling on the floor

Update :
# Cerpen Lucu 7
Waktu Kakek Masih Muda
Seorang kakek dengan bangga menceritakan masa mudanya kepada cucunya.
Kakek : "Suatu malam, ketika kakek masih muda dulu kakek pulang
melewati lorong yang gelap. Tiba-tiba kakek di hadang oleh lima orang
perampok. Dengan gagah kakek melawan mereka berlima sehingga
terjadilah perkelahian yang seru. Akhirnya dengan keahlian berkelahi yang
kakek miliki, kakek berhasil menjatuhkan empat orang perampok itu"
Cucu: "Wah, kakek jago juga ya! Trus perampok yg satunya gimana kek?"
Kakek : "Sttttsss.....dia itu yang bawa kakek ke rumah sakit".
kata kakek sambil berbisik.
laughing
Semoga anda terhibur dengan cerpen lucu cerpen lucu yang saya tulis diatas.
Sekian dulu cerpen lucu dari saya, ntar saya posting kalo nemu cerpen lucu lagi big grin

cerpenku

Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."

"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"

"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.

"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."

"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."

"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"

"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."

"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***

Kamis, 15 Maret 2012

lasker cerpen indonesia

FRIEND 4 EVER
Cerpen Nahda Yumna 'ufairoh

“Hai semua......”sapaku
“hai juga nahda....”temen-temenku pada jawab
“kalian lagi apa nih,pasti ngomongin aku ya???”kataku GR
“idih ngapain coba ngomongin kamu,daripada ngomongin kamu mendingan ngomongin yg lain”dengan suara keras.
Waktu itu aku dan yana mau ke toilet,tiba-tiba aku tertabrak seseorang
“eh...maaf ya...”kata cowok itu
“ya nggak papa.....kayaknya aku baru ngeliat kamu di sekolah ini,kamu murid baru ya????”tanyaku
“iya,aku murid baru di sini,namaku wahyu”
“aku yana”yana ngenalin diri ke wahyu
“kalau kamu siapa???”tanya wahyu
“namaku nahda”jawabku sambil tersenyum
“ngomong-ngomong kamu kelas berapa yu????”yana pengen tahu
“aku kelas 6 A”wahyu menjawab dengan suara yg halus
“kalau gitu sama dong kayak kita”kataku
Nggak kerasa udah pukul 7.kita bertiga pun pergi ke kelas sama-sama.Ditengah perjalanan ke kelas,yana kembali tanya sama wahyu.
“wahyu,kamu itu pindahan dari mana sih???”tanya yana cerewet
“aku pindahan dari yogya,dulu aku tinggal di yogya,tapi sekarang di sini karna ayahku ditugasin di sini”jawab wahyu ramah
“o...gitu ya....???”yana si cerewet
Kita bertiga sudah sampai di kelas.
“anak-anak,kalian kedatangan teman baru pindahan dari yogya,namanya wahyu,
Wahyu perkenalkan diri kamu ke teman-teman”jelas guruku
“ hai temen-temen,namaku wahyu,aku pindahan dari yogya,aku harap kalian bisa nerima aku sebagai teman kalian”wahyu memeperkenalkan diri
“hai juga wahyu,kita bakal nerima kamu sebagai temen kita kok,ya nggak temen-temen????”sahutku
“iya dong....”semuanya kompak.
@@@@@@@@@@

Ujian nasionalpun sudah selesai.aku dan temen-temen tinggal nunggu hasilnya 2 minggu yg akan datang.menunggu hasil UN kita,kita nggak ada pelajaran alias jam bebas.
“enaknya ngapain nih”tanyaku ke temen-temen
“kita tanding sepak bola aja yuk,berani nggak”wahyu manantang
“ok,siapa takut”jawabku
“tim cowok 6 a dan 6 b lawan cewek 6a dan 6 b ok???”jelas wahyu
“ok.....”timku kompak
Pertandinganpun berjalan.belum sampai selesai,aku tertabrak cowok kelas 6 b.
“aduh...”aku kesakitan
“maaf.....mana yg sakit???aku bawa kamu ke UKS ya????”kta cowok itu
“gak usah....”jawabku
“tapi luka kamu perlu diobati”
“aku nggak papa kok...”
“kalau kamu nggak mau ke UKS,mendingan kamu istirahat di kelas atau di tempat teduh aja...”cowok itu perhatian sama aku
“makasih ya....”
Aku berusaha berdiri dan ternyata aku nggak kuat berdiri
“aduh......”aku kesakitan
“kalau kamu nggak kuat,ayo aku bantu.....”
“makasih ya...”
“ayo aku bantu”
Lalu cowok itu memegang tanganku dan membantu aku jalan.seampainya di bawah pohon,cowok itu nemenin aku duduk di sana.
“oh...ya....ngomong-ngomong nama kamu siapa????”tanya cowok itu
“namaku nahda,kalau kamu siapa????.....”
“namaku rian”dia jawab sambil berjabatan tangan
Akhirnya aku dan dia menjadi temen.dia selalu ngerti tentang perasaanku.tapi pertemananku sama dia,nggak akan menggantikan yana dan wahyu sabagai sahabatku.
Nggak kerasa hari ini pengumuman kelulusanku n temen**.Jantungku deg** gan waktu guruku mau bacain hasil kelulusanku n temen**.Tapi salah satu temenku ada yg punya usul.
“eh....temen**....aku punya usul...biar kita nggak tegang,mendingan kita semua saling pegangan tangan erat**.....setuju nggak...????”
“ok....setuju....”aku n temen** kompak.
Aku n temen** saling pegangan tangan erat**...N sekarang tiba waktunya guruku membacakan hasilnya.
“ok anak**,sekarang ibu di sini mau membacakan hasil ujian nasional kalian.Dan hasilnya adalah.....”
Aku n temen**deg** gan....kita pegangan tangan semakin erat....
“kalian semua lulus....”
Aku n semua temen**ku saling berpelukan.Kita semua bersyukur banget.....
@@@@@@@@@@

Paginya.....
Aku n temen** ngada’in perpisahan.Waktu perpisahan kita semua berpelukan.Jauh hari sebelum kita lulus,kita udah nyipta’in sebuah lagu,puisi,n film.Itu semua karya dari kita sendiri.
Waktu perpisahan,yg nyanyi’in lagu aku,yana,wahyu,n rian.Lagu itu berjudul “SAHABATKU”.Cipta’anku n temen**.Kita berempat nyanyi sambil nangis,hati kita tersentuh baget kalo nyanyi’in lagu itu.
Yg baca’in puisi si Nia.Puisi yg dibacakan berjudul “JANGAN LUPAKAN AKU”.Karyaku,tapi temen**ku juga bantu aku.Semua orang yg ada di situ meneteskan air mata,sampai** guruku juga ikut meneteskan air mata.
Dan yg terakhir pemutaran film kita.Yg kita beri judul “SAHABAT SELAMANYA”.Ceritanya tentang persahabatan kita selama ini.Dari awal sampai akhir kita nangis,tapi bukan nangis karna ada masalah.Tapi nangis karna bahagia n sedih.Bahagia karna selama ini kita selalu bersama dalam keadaan senang maupun susah.Sedih karna kita nggak satu sekolah lagi,jadi jarang ketemu.
@@@@@@@@@@

Nggak kerasa acara perpisahan itu udah selesai.Setelah acara itu,aku n temen** janjian buat pergi ke SD.Kita semua mau pamit n minta do’a restu dari guru** di SD kita.
“bu,pak,maafin semua kesalahan kita selama ini ya.Selama ini kita udah nyusahin bapak n ibu guru semua.Kita selalu bandel.Kita mau pamit sama bpk n ibu guru,kami juga minta do’a restunya untuk melanjutkan sekolah ke sekolah pilihan kami” kataku sebagai perwakilan dari temen**ku
“ea anak**.....ibu n bpk guru sudah memaafkan kalian.Do’a restu bpk n ibu guru selalu menyertai kalian.Bpk n ibu guru berpesan pada kalian “ raihlah cita** kalian setinggi langit,jangan pernah menyerah,tetaplah bersemangat demi menggapi cita** kalian ”.Ingat pesan dari bapak n ibu guru.”perwakilan dari guruku.
“ia pak,,bu....kami semua akan selalu mangingat pesan bapak n ibu guru.Kami semua pamit”
“ia nak....jangan pernah lupakan ibu n bapak guru ya”
“kami semua nggak akan melupakan bpk n ibu guru”
Lalu,kami semua bersalaman dengan bpk n ibu guru.Kami semua menangis terharu.
@@@@@@@@@@

Setelah pamitan sama guru** SD,kita ke rumah si Rian.Kita semua menikamati masa** yg indah ini dengan rasa senang.
“eh...temen**.... besok setelah kita masuk ke sekolah baru kita masing** kira** kita bisa kayak gini lagi nggak ya???”tanya si Dewi.
“ea harus bisa donk....gimanapun juga,kita kan FRIEND 4 EVER....jadi kita harus tetep kumpul bareng kayak gini donk....”jawab yana dengan lantang.
“aku setuju.....persahabatan kita tu nggak boleh putus....kita harus tetep bersahabat selamanya....walaupun kita nggak satu sekolah lagi”sahut si Wahyu.
“bener banget....eeeemmm....gimana kalau setiap kita liburan,kita kumpul bareng.....setuju nggak????”aku usul.
“setuju banget.....”jawab temen**ku kompak.
@@@@@@@@@@

Kita semua sekolah di sekolah kita masing**......
“hallo Dut.....”kataku
“hallo juga Ada”jawab wahyu
“kamu lagi ngapain nih,aku nggak ganggu kan???”
“nggk koq.....kamu nggak ganggu....lagian aku lagi nggak sibuk....ada apa kamu nelvon aku????”
“aku cuman mau tanya sama kamu.......”
“tanya apa???”
“besok kan malem minggu,kamu ada waktu buat kumpul bareng nggak????”
“pasti ada donk.....apa sih yg nggak buat temen**ku yg tersayang.....”
“ok, kalo gitu.....besok malem minggu kamu ke rumahku dulu,baru ke rumah si Rian.....ok.....”
“emangnya temen** yg laen udah pada tau????”
“ea udah donk......besok kalo kamu mau ke rumah Rian,aku boncengan sama kamu ya????boleh kan???”
“ea boleh donk.....emangnya besok jam berapa????”
“tadi katanya si Rian sih jam delapan.....”
“oooowwww.....kalo gitu besok aku ke rumahmu jam setengah delapan.....kamu harus udah siap....ok......”
“wokeh.....”
“eh.....udah dulu ya....”
“ea sob....”
“sampai ketemu besok......da.....”
“da.......”
@@@@@@@@@@

Malem minggu (07.00).....
Aku siap** buat ke rumah si Rian.
Nggak lama kemudian sahabatku Wahyu datang ke rumahku
“Ada....”dia manggil aku (panggilan akrab)
“ea Dut......(panggilan akrabku ke wahyu)”
“cepet donk......”
“ea**.....”
Aku udah keluar rumah.....
“lama banget cieh kamu Ada......”
“ea maap.....”
“ea udah....cepet naik....ntar telat lagi....”
“ea** Dut.....”
Aku dan wahyu udah sampe’ di depan rumah Rian......dan ketemu sama mamah si Rian,,,,
“malem tante.....Rian nya ada????”tanya si Wahyu
“malem....Rian ada di dalem koq.....silahkan masuk....”
“trima kasih tante.....”
Nggak lama kemudian Rian datang....
“eh....ian.....jadi nggak nih????”
“jadi donk....rencananya aku mau bawa kalian semua ke cafe favoritku....mau nggak....”
“ea pasti mau donk....asal gratis.....gratis kan???”kata si yana
“ea**.....gratis.....semua aku yg bayar....”
“makasih Rian.....kamu emang baik deh.....”
“ea donk.....Rian gtu.....”
@@@@@@@@@@

Setelah kita kumpul di cafe kita pulang ke rumah masing**......
Aku dianter sama Wahyu dan Yana dianter si Rian....
Di jalan aku n Wahyu omong** an...
“eh Ada....kira** kita besok bisa kayak gini lagi nggak ea....”
“ea harus bisa donk.....walaupun cuman 1 tahun sekali....”
“ea moga** aja ea.....”
“e’emp.....”
Nggak kersa udah sampe’ depan rumah ku.....
“thanks ea Dut.....”
“ea...sama** Ada....”
“see u next time.....”
“see u too....”
@@@@@@@@@@

Sampe’ saat ini aku dan temen**ku masih berteman baik.Dan kami selalu menjaga pertemanan kami untuk sekarang,besok,lusa dan slamanya.
Motto kita adalah :
Makan nggak makan yg penting kumpul
Kita semua berharap agar pertemanan kita bertahan selamanya.
@@@@@@@@@@
by parjoko coyy

Senin, 12 Maret 2012

cinta sejati

Cerita Pendek: Cinta Sejati

Disclaimer: Postingan panjang. Harap bersiap-siap meluangkan waktu untuk cerita pendek ini…
Cerita ini merupakan kisah nyata seorang tante yang saya temui di Bali, tetapi detail yang saya sebutkan mungkin tidak sesuai dengan kisah aslinya. Saya menuliskan apa yang saya tangkap dari yang diceritakan tante. Sebut saja Ami (bukan nama sebenarnya). Tante Ami bercerita mengenai pengalaman hidupnya ketika masa kuliah.
Sekitar dua puluh tahun yang lalu, Ami sedang menjalankan semester terakhir dan berusaha menyelesaikan skripsi. Disaat itu pula, 2 minggu yang akan datang, Ami akan dipersunting oleh seorang pria yang bernama Iman (bukan nama sebenarnya).
Ami dan Iman telah berpacaran selama 7 tahun. Iman merupakan teman SD Ami. Mereka telah kenal selama 14 tahun. Masa 7 tahun adalah masa pertemanan, dan kemudian dilanjutkan ke masa pacaran. Mereka bahkan telah bertunangan dan 2 minggu ke depan, Ami dan Iman akan melangsungkan ijab kabul.
Entah mimpi apa semalam, tiba-tiba Ami dikejutkan oleh suatu berita.
Adiknya Iman: Mbak Ami, Mbak Ami. Mas Iman…Mas Iman….kena musibah!
Ami: Innalillahi wa inna illahi roji’un…
Saat itu Ami tidak mengetahui musibah apa yang menimpa Iman. Kemudian sang adik melanjutkan beritanya…
Adiknya Iman: Mas Iman…kecelakaan…dan..meninggal…
Ami: Innalillahi wa inna illahi roji’un…
…dan Ami kemudian pingsan…
Setelah bangun, Ami dihadapkan oleh mayat tunangannya. Ami yang shock berat tak bisa berkata apa-apa. Bahkan tidak ada air mata yang mengalir.
Ketika memandikan jenazahnya, Amit terdiam. Ami memeluk tubuh Iman yang sudah dingin dengan begitu erat dan tak mau melepaskannya hingga akhirnya orang tua Iman mencoba meminta Ami agar tabah menghadapi semua ini.
Setelah dikuburkan, Ami tetap terdiam. Ia berdoa khusyuk di depan kuburan Iman.
Sampai seminggu ke depan, Ami tak punya nafsu makan. Ia hanya makan sedikit. Ia pun tak banyak bicara. Menangis pun tidak. Skripsinya terlantar begitu saja. Orangtua Ami pun semakin cemas melihat sikap anaknya tersebut.
Akhirnya bapaknya Ami memarahi Ami. Sang bapak sengaja menekan anak tersebut supaya ia mengeluarkan air mata. Tentu berat bagi Ami kehilangan orang yang dicintainya, tapi tidak mengeluarkan air mata sama sekali. Rasanya beban Ami belum dikeluarkan.
Setelah dimarahi oleh bapaknya, barulah Ami menangis. Tumpahlah semua kesedihan hatinya. Setidaknya, satu beban telah berkurang.
…tiga bulan kemudian…
Skripsi Ami belum juga kelar. Orangtuanya pun tidak mengharap banyak karena sangat mengerti keadaan Ami. Sepeninggal Iman, Ami masih terus meratapi dan merasa Iman hanya pergi jauh. Nanti juga kembali, pikirnya.
Di dalam wajah sendunya, tiba-tiba ada seorang pria yang tertarik melihat Ami. Satria namanya (bukan nama sebenarnya). Ia tertarik dengan paras Ami yang manis dan pendiam. Satria pun mencoba mencaritahu tentang Ami dan ia mendengar kisah Ami lengkap dari teman-temannya.
Setelah mendapatkan berbagai informasi tentang Ami, ia coba mendekati Ami. Ami yang hatinya sudah beku, tidak peduli akan kehadiran Satria. Beberapa kali ajakan Satria tidak direspon olehnya.
Satria pun pantang menyerah, sampai akhirnya Ami sedikit luluh. Ami pun mengajak Satria ke kuburan Iman. Disana Ami meminta Satria minta ijin kepada Iman untuk berhubungan dengan Ami. Satria yang begitu menyayangi Ami menuruti keinginan perempuan itu. Ia pun berdoa serta minta ijin kepada kuburan Iman.
Masa pacaran Ami dan Satria begitu unik. Setiap ingin pergi berdua, mereka selalu mampir ke kuburan Iman untuk minta ijin dan memberitahu bahwa hari ini mereka akan pergi kemana. Hal itu terus terjadi berulang-ulang. Tampaknya sampai kapanpun posisi Iman di hati Ami tidak ada yang menggeser. Tetapi Satria pun sangat mengerti hal itu dan tetap rela bersanding disisi Ami, walaupun sebagai orang kedua dihati Ami.
Setahun sudah masa pacaran mereka. Skripsi Ami sudah selesai enam bulan yang lalu dan ia lulus dengan nilai baik. Satria pun memutuskan untuk melamar Ami.
Sebelum melamar Ami, Satria mengunjungi kuburan Iman sendirian. Ini sudah menjadi ritual bagi dirinya. Disana ia mengobrol dengan batu nisan tersebut, membacakan yasin, sekaligus minta ijin untuk melamar Ami. Setelah itu Satria pulang, dan malamnya ia melamar Ami.
Ami tentu saja senang. Tapi tetap saja, di hati Ami masih terkenang sosok Iman. Ami menceritakan bagaimana perasaannya ke Satria dan bagaimana posisi Iman dihatinya. Satria menerima semua itu dengan lapang dada. Baginya, Ami adalah prioritas utamanya. Apapun keinginan Ami, ia akan menuruti semua itu, asalkan Ami bahagia.
Ami pun akhirnya menerima lamaran Satria.
…beberapa bulan setelah menikah…
Di rumah yang damai, terpampang foto perkawinan Ami dan Satria. Tak jauh dari foto tersebut, ada foto perkawinan Ami ukuran 4R. Foto perkawinan biasa, namun ada yang janggal. Di foto tersebut terpampang wajah Ami dan Iman.
Ya, Ami yang masih terus mencintai Iman mengganti foto pasangan disebelahnya dengan wajah Iman. Foto itupun terletak tak jauh dari foto perkawinan Satria dan Ami. Sekilas terlihat foto tersebut hasil rekayasa yang dibuat oleh Ami. Namun Satria mengijinkan Ami meletakkan foto tersebut tak jauh dari foto perkawinan mereka.
Bagaimanapun Ami tetap akan mencintai Iman sekaligus mencintai Satria, suami tercintanya. Dan Satria merupakan pria yang memiliki hati sejati. Baginya, cinta sejatinya adalah Ami. Apapun yang Ami lakukan, ia berusaha menerima semua keadaan itu. Baginya tak ada yang perlu dicemburui dari batu nisan. Ia tetap menjalankan rumah tangganya dengan sakinah, mawaddah dan warramah, hingga saat ini…
Mendengar cerita diatas, terus terang saya merasa sedih, terharu, sekaligus miris. Saya kagum dengan sosok Satria yang ternyata benar-benar mencintai Tante Ami. Saya juga mengerti kepedihan Tante Ami ketika ditinggalkan tunangannya. Tentu rasanya sulit ditinggalkan oleh orang yang sudah membekas dihati.
Akankah ada pria-pria seperti Satria? Saya harap semoga banyak pria yang akan tetap setia kepada seorang wanita, menerima mereka apa adanya.

Jumat, 09 Maret 2012

cara mengganti krusor di blogspot



cara mengganti kursor di blog - Salam jumpa kembali para sahabat blogger..Pada kesempatan kali ini Pemula punya blog akan coba untuk share tutorial blog tentang cara mengganti kursor blog dengan kursor cantik ..Ok..cekidot..
Mungkin sahabat-sahabat melihat tampilan kursor yang berupa anak panah putih seperti ini sudah bosan....!!! Nah untuk sedikit variasi dan penyegaran mata ganti aja kursor pake kursor yang kita mau...nah berikut ini pemula punya blog coba memberikan beberapa alternatif yang bisa digunakan sebagai pengganti kursor tersebut dan langkah-langkah cara memasangnya diblog...Ok langsung aja ke T..K..P...
Langkah - langkah mengganti kursor yang cantik Sebagai berikut :
1. Copy script berikut ini :
<style type="text/css">
body {
cursor:url("
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg20Phk9xMPMljOIIIHfOO5PCNIzsF3pkRk5DF6k8vCK9AI3LnG4H4c0fQdSh5q187Hd3PFSmDZNz9_f-q6Ojs-ypdYjxRttnTxYT6FZe9dJUHvlsag4vL3yD3mIZrsIXlxTGhKWSpksRk/h120/1.gif")
,default}
</style>
akan menghasilkan bentuk kursor seperti ini :
Berikut ini adalah beberapa pilihan cursor yang bisa digunakan Copy script yang ada dibawah masing-masing kursor yang anda inginkan ganti tulisan yang berwarna merah :
 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg20Phk9xMPMljOIIIHfOO5PCNIzsF3pkRk5DF6k8vCK9AI3LnG4H4c0fQdSh5q187Hd3PFSmDZNz9_f-q6Ojs-ypdYjxRttnTxYT6FZe9dJUHvlsag4vL3yD3mIZrsIXlxTGhKWSpksRk/h120/1.gif

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8SJyDIE91gAOie-bRUnyZjWkCkuXTgI7dkpKqMjhcs4o8cGgVwDauely0tzK1htxcqw8h4qvSVZ5ybMQVFAneUDe1QBkX4a9JWiNwVCvZ4G0ibDBaICeFMXQxvM2rBzmBPCsPjxLYtgA/h120/2.gif

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiH0TkYmgM_dNNIKZgUGps32HDa-hdu07B1bFB2n6i6209qVyMj3OkUyIBLaaQTWbkDgO8RPHWu-Xcdmv3djlKThl6rn2cp2pGCzXxLYzmGvfmBEm6HdlS_jTwhHmaXBfPhxrwHCDajosg/h120/3.gif

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg5s8X_qsi8hRP96_2bP3M3N3GnqRNwaXx4XDp77J58JzH0ZmUbiKWN8zUujTwUxfbMp90k89jF4WNyxPiwd7Du9EJSj7qBZyuzgsTA-j7JcDr-ZRGB_nq9s1rKZQ58_XZsGvg7-uTC4-w/h120/4.gif
Setelah di copy script di atas langkah selanjutnya pengaturan diblog sahabat sebagai berikut :
1. Klik Rancangan.
2. Pilih Tata letak.
3. Klik Tambah Gadget.
4. Pilih HTML/Javascript kemudian paste script tersebut.

5. Simpan dan lihat hasilnya...

applinesstar


Aku sok dadi opo eo
Yen dadi opo mending ga dadi opo opo
La arek ngpo dadi wg opo opo I gag penak penak e eo gag dadi opo
La iki penak e ngpo
Gag ngpo ngpo
Mending ngpo ngpo
Yen ngpo ngpo I gag penak
Kandani paling penak gag ngpo ngpo kooooooooooog
La ngpo eo, mending ngpo ngpo ae eo
Omeh oe emoh
Pokok e paling penak gag ngpo ngpo yen ngasi do ngpo ngpo tak opo opok ne